Bayang-Bayang Militer di Kampus: Demokrasi di Titik Kritis
Revisi atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) membuka jalan baru bagi keterlibatan militer dalam kehidupan sipil. Salah satu klausul yang menuai perhatian adalah keterlibatan TNI dalam bela negara yang disebut-sebut akan melibatkan institusi pendidikan tinggi. Narasi yang disampaikan tampak manis: kerja sama antara TNI dan kampus untuk menumbuhkan semangat nasionalisme. Namun, benarkah ini sekadar kerja sama atau justru bentuk baru infiltrasi militer di ruang akademik?. Fenomena ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk lembaga masyarakat sipil, yang menilai bahwa kehadiran militer di kampus dapat mengancam kebebasan akademik dan demokrasi.
Dari Penyeragaman Kesadaran hingga Represi Sipil
Sejumlah pengamat dan organisasi masyarakat sipil mengungkapkan kekhawatiran terkait infiltrasi militer di kampus-kampus Indonesia, terutama setelah disahkannya revisi Undang-Undang TNI. Fenomena ini terlihat melalui beberapa peristiwa, seperti sosialisasi UU TNI di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), kerja sama antara TNI dan Universitas Udayana, serta pengumpulan data mahasiswa oleh Kodim 1707 di Merauke.
Kekhawatiran ini diungkapkan oleh peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, yang menyatakan bahwa militer berusaha mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh diajarkan kepada mahasiswa. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigjen Wahyu Yudhayana, membenarkan bahwa TNI memiliki fungsi "pembinaan teritorial" di universitas, yang mengingatkan pada konsep dwifungsi militer pada era Orde Baru.
Perhatian publik meningkat ketika BEM Unsoed memprotes intervensi militer setelah aksi penolakan RUU TNI pada 21 Maret. Setelah aksi tersebut, rektorat memanggil BEM untuk berdialog dengan Kodim Banyumas. Namun, BEM menolak panggilan tersebut karena tidak ada surat resmi dari TNI. Ketika pertemuan akhirnya dilaksanakan, BEM menyatakan bahwa itu hanya digunakan oleh militer untuk meminta klarifikasi dan permintaan maaf atas aksi mahasiswa.
Di Merauke, surat dari Kodim 1707 meminta data mahasiswa juga menimbulkan kegelisahan. Mahasiswa setempat mencurigai bahwa permintaan tersebut bertujuan untuk membungkam suara-suara kritis terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua pun dilibatkan untuk membantu mahasiswa yang merasa terancam.
Sementara itu, kerja sama antara TNI dan Universitas Udayana yang diumumkan pada 26 Maret juga menuai kritik. Perjanjian tersebut mewajibkan mahasiswa mengikuti pendidikan bela negara dan memungkinkan prajurit aktif untuk menempuh pendidikan di universitas tersebut. Presiden BEM Universitas Udayana menilai perjanjian ini dapat membatasi independensi institusi pendidikan dan mengancam kebebasan akademik.
Beberapa kronologi tersebut sejatinya menjadi sebuah ironi. Perguruan Tinggi sudah sepatutnya mengedepankan kultur akademik dalam menanggapi sebuah isu. Kalangan akademik dibiarkan menganggur ketika argumen mereka dibutuhkan di saat yang tepat, seperti masa penerimaan mahasiswa baru di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Keputusan mendatangkan figur militer seakan mereduksi kemampuan kampus dalam menghasilkan pemecahan masalah. Intelektualitas pun gagal unjuk gigi di rumah sendiri.
Sebuah pertanyaan lalu menyembul ke permukaan, mengapa harus militer? Padahal ada banyak alternatif figur yang bisa dijadikan pembicara, atau Kerjasama dalam upaya bela negara. Kritik terhadap infiltrasi militer ini mencerminkan kekhawatiran akan hilangnya ruang bebas berpikir di kampus-kampus Indonesia. Banyak pihak menegaskan bahwa kampus seharusnya menjadi tempat yang merdeka dari intervensi militer dan tetap fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan serta kebebasan akademik.
Bahaya Infiltrasi Militer di Kampus
Kampus seharusnya menjadi ruang kebebasan berpikir, tempat pertukaran ide yang egaliter dan kritis. Masuknya militer ke dalam kampus membawa serta kultur hierarkis dan komando yang bertentangan dengan semangat universitas. Sebagaimana dikatakan Paulo Freire, “pendidikan sejati adalah praktik kebebasan, bukan tindakan penjinakan.” Militerisasi kampus, dalam konteks ini, bukanlah upaya mendidik, melainkan sebuah strategi untuk membentuk kepatuhan dan menghapus keberanian untuk menggugat.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menegaskan bahwa pendekatan militer yang mengandalkan kekerasan dan disiplin ketat sangat bertentangan dengan nilai-nilai akademik yang membutuhkan ruang berpikir bebas dan kritis. Dalam konteks ini, kampus seharusnya menjadi tempat di mana mahasiswa dapat berdiskusi dan mengeksplorasi ide-ide tanpa adanya tekanan dari hierarki militer.
Keterlibatan militer dalam pendidikan tinggi juga dianggap sebagai langkah mundur menuju otoritarianisme. Menurut Dhia Al Uyun, Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK), infiltrasi ini dapat membunuh kebebasan berpikir mahasiswa dan menyeret dunia akademik ke dalam kontrol yang ketat. Hal ini menciptakan atmosfer yang tidak kondusif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kreativitas, yang merupakan inti dari pendidikan tinggi. Salah satu alasan yang sering diajukan untuk mendukung infiltrasi militer adalah kebutuhan akan bela negara. Namun, banyak pihak berpendapat bahwa bela negara tidak harus selalu melibatkan militer. Prestasi akademik, olahraga, dan riset juga merupakan bentuk kontribusi terhadap negara yang lebih relevan dan sesuai dengan fungsi pendidikan. Atmosfer akademik yang bebas dan dialogis sangat penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak seharusnya dikendalikan oleh kultur hierarkis militer.
Peringatan Sejarah Kelam
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam pendidikan sering kali berujung pada pengendalian pemikiran dan pembatasan kebebasan berekspresi. Mungkin kita lupa bahwa dahulu kekuatan militer pernah menguasai sistem pemerintahan Indonesia. Coba kita ingat-ingat lagi bagaimana rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun. Presiden Soeharto membawa arah pemerintahan dengan corak kemiliteran. Sejumlah alat propaganda dirancang guna mengawal rakyat sesuai kehendak penguasa. Rendro Dhani, Terence Lee, dan Kate Fitch menuliskan dalam Political Public Relations in Indonesia: A History of Propaganda and Democracy, bahwa selama lebih dari 30 tahun, rezim Soeharto menggunakan “ketakutan” dalam menjalankan roda pemerintahan.
Manipulasi kenyataan juga dilakukan agar rezim militer dipandang sebagai sosok pahlawan. Sementara itu, kebebasan berekspresi dibungkam, buktinya banyak perusahaan surat kabar yang diberedel tanpa ampun. Padahal, mereka tengah menjalankan tugasnya sebagai informan publik. Sikap rezim itu sama saja merampas hak masyarakat terhadap informasi yang mereka butuhkan. Belum lagi jika kita menyinggung masalah pelanggaran hak asasi manusia. Timor Timor dan Irian Barat merupakan salah dua wilayah yang menjadi saksi bisu betapa kejamnya rezim militer saat itu. Tragedi pun semakin panjang oleh hilangnya para aktivitis dan masyarakat sipil menjelang tumbangnya Orde Baru.
Hadirnya figur militer sebagai pembicara di panggung public dan jalinan Kerjasama militer-kampus, barangkali merupakan upaya untuk merekonstruksi citra militer yang telanjur buruk di masa lalu. Saat ini, militer tengah membangun kembali reputasinya di hadapan publik. Mereka diberi tempat strategis untuk menyampaikan narasi positif. Seolah-olah hanya militer pilihan terbaik atas permasalahan bangsa ini. Apalagi, semakin banyak pula eks petinggi militer yang kini menduduki posisi penting di level pemerintahan pusat.
Maka tidak heran jika survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) memuncaki daftar institusi negara dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi. TNI sebagai instansi militer negara meraup 90% suara dari total 1.183 responden. Angka tersebut sukses melampaui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang duduk di peringkat kedua dengan 80,8% suara. Sementara itu, Presiden dan Wakil Presiden secara beruntun duduk di peringkat ketiga dan keempat.
Data di atas menjelaskan kepada kita bahwa dominasi militer tengah bekerja dalam mempengaruhi keputusan publik. Kabar buruknya adalah apabila dominasi terus diberikan tempat, maka yang terjadi adalah hegemoni. Tentunya, kita tidak mau kembali hidup di masa lalu. Catatan sejarah tadi diharapkan mampu membekali kita agar memandang isu terkini secara lebih visioner. Mungkin, untuk saat ini, potensi rezim militer kembali belum sepenuhnya terjadi. Tapi kita tahu bahwa sejarah akan selalu menjadi pelajaran berharga buat kehidupan di masa mendatang. Hal itulah yang menjadi pekerjaan rumah kita sebagai bagian dari sivitas akademika. Dominasi harus dilawan dengan wacana tanding yang tidak kalah kuat.
Upaya kita untuk bertanding dan meningkatkan posisi tawar di hadapan masyarakat tampaknya akan melalui jalan terjal. Sudah dua tahun belakangan, militer selalu menjadi langganan untuk menyampaikan narasinya di lingkungan akademik. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, boleh jadi wibawa universitas akan tergusur. Kebebasan dan kemerdekaan berpikir kita seolah tidak ada gunanya. Lebih memalukan lagi, jika kita memilih diam ketika militer merebut peran universitas sebagai tonggak pembangunan.
Kesimpulan
Infiltrasi militer dalam kampus adalah isu serius yang perlu dicermati dengan seksama. Meskipun ada argumen tentang perlunya bela negara, kenyataannya adalah bahwa kehadiran militer dapat mengancam kebebasan akademik dan demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat sipil dan komunitas akademik untuk bersuara menolak langkah-langkah yang dapat merugikan integritas pendidikan tinggi di Indonesia. Kampus harus tetap menjadi ruang bebas untuk berpikir dan berdiskusi tanpa adanya tekanan dari kekuatan luar, termasuk militer.
Masuknya militer ke wilayah kampus bukan sekadar intervensi—ini adalah bentuk nyata infiltrasi sistematis untuk membungkam kebebasan akademik dan menghidupkan kembali bahaya laten dwifungsi TNI, Ini adalah langkah mundur yang mengancam demokrasi, membunuh kebebasan berpikir, dan menyeret dunia akademik ke dalam jurang otoritarianisme. Kampus adalah ruang intelektual, bukan barak, Di sini, argumen bertemu argumen, bukan moncong senjata yang berbicara. Kebebasan akademik hanya tumbuh dalam atmosfer egaliter dan dialogis—bukan di bawah bayang-bayang feodalisme kronis dan kultur hirarkis.
Sejarah telah membuktikan: setiap kali militer masuk ke kampus, yang terjadi adalah represi, pembungkaman, dan kehancuran nalar kritis. Kita tidak boleh diam. Kampus harus menjadi ruang tanding, bukan ladang indoktrinasi. Perlu ada perlawanan intelektual—baik dari mahasiswa, dosen, maupun sivitas akademika lain—untuk menjaga marwah universitas. Wacana tanding harus dibangun, bukan hanya menolak kehadiran militer secara fisik, tetapi juga menggugat narasi dominan yang membenarkan militerisasi sipil.
Dalam situasi seperti ini, demokrasi dan akal sehat memang sedang berada di titik kritis. Apakah kita akan menyerah pada romantisme nasionalisme yang dikendarai oleh militer, atau tetap mempertahankan kampus sebagai ruang bebas, kritis, dan merdeka dari bayang-bayang kuasa?
REFERENSI
https://www.tempo.co/politik/revisi-uu-tni-tentara-masuk-kampus-1226969
https://rajamedia.co/berita/tni-masuk-kampus-ylbhi-sebuah-infiltrasi-berbahaya
https://www.metrotvnews.com/read/NrWColmA-dinilai-masuk-ranah-kampus-keterlibatan-militer-dikritik
https://www.rakyatpos.id/2025/04/tni-memasuki-kampus-ylbhi-ini-adalah-infiltrasi-berbahaya.html
https://www.metrotvnews.com/read/NOlCAGOW-ylbhi-militer-tidak-didesain-urus-pendidikan-sipil
https://twitter.com/mediaindonesia/status/1907654291977805890
https://kupang.tribunnews.com/2025/04/04/pakar-soal-tni-masuk-ranah-perguruan-tinggi-kampus-harus-bebas-dari-militer
https://www.gelora.co/2025/04/tni-masuk-kampus-ylbhi-ini-infiltrasi.html
https://rmbanten.com/berita/polemik-masuknya-militer-ke-kampus-tni-bantah-kontrol-mahasiswa
https://epaper.mediaindonesia.com/detail/a-11559
https://ekspresionline.com/malu-jika-militer-masuk-kampus-melulu/
https://www.balairungpress.com/2025/03/ruu-tni-ancam-ruang-kampus-akademisi-serukan-penolakan/
https://rajamedia.co/berita/tni-klarifikasi-soal-militer-di-kampus-bukan-langkah-pengendalian-mahasiswa
Kontributor: Iqbal Alaik
Editor: Irsyad Akil
0 Komentar