Inspiratif.online Semarang- Pertemuanku dengan One Piece sangat sederhana: percakapan ringan di bangku sekolah tentang film dan komik yang sedang tren. Tahun 2016,mungkin agak telat bagi sebagian orang. Karena ingin nyambung dengan obrolan teman teman kala itu. Dan berakhir dengan menjejakkan kaki di kios pinjaman komik lalu membuka lembar pertama dari petualangan mencari harta karun. Tanpa kusadari, itu adalah awal dari perjalanan panjang bersama seorang karakter yang lebih dari sekadar bajak laut lucu dan konyol, Luffy.
Tiga tahun setelahnya, aku menyadari bahwa One Piece bukanlah hiburan semata. Ia adalah narasi kompleks tentang kebebasan, keadilan, dan perlawanan terhadap tirani. Luffy, dalam segala kepolosan dan kekonyolannya, adalah simbol dari manusia yang menolak dikendalikan oleh sistem yang menindas.
Bagi para penonton biasa, Luffy adalah bajak laut. Tapi bagiku—dan mungkin bagi banyak orang—ia adalah alegori tentang manusia yang melawan nasib yang ditentukan oleh sistem. Dalam setiap langkah dan keputusan, Luffy menghidupkan gagasan Filsafat eksistensialis Jean Paul Sartre bahwa manusia "terkutuk untuk bebas", dengan segala konsekuensi dan keberanian yang menyertainya.
Dalam dunia One Piece, sistem kekuasaan direpresentasikan oleh Pemerintah Dunia (World Government), Angkatan Laut (Marine), hingga para Tenryuubito—sekelompok bangsawan langit yang menjadikan kelompok lain sebagai budak. Di sinilah kita melihat bagaimana Eiichiro Oda-(komikus One Piece) menyisipkan kritik sosial yang kuat terhadap pelanggaran HAM, terutama hak untuk hidup merdeka, bebas dari penindasan, diskriminasi, dan perbudakan.
Luffy hadir sebagai antitesis dari sistem tersebut. Ia tidak hanya berjuang demi dirinya sendiri, tapi juga membebaskan orang-orang yang tertindas. Contoh paling kuat adalah insiden di Enies Lobby, ketika ia memimpin pertempuran hanya untuk menyelamatkan satu orang—Nico Robin—yang haknya untuk "hidup dan dicintai" sedang dirampas. Dalam perspektif HAM, tindakan ini adalah pembelaan atas right to life, right to dignity, dan freedom from persecution.
Bagi Luffy, kebebasan adalah nilai yang tidak bisa ditawar. Ia menolak otoritas yang tidak adil, bukan karena ingin menciptakan kekacauan, melainkan karena ia memahami bahwa kekuasaan yang dibangun di atas penderitaan hanyalah bentuk lain dari penjajahan. Inilah mengapa dalam banyak arc—Skypiea, Sabaody, Fish-Man Island—Luffy selalu berdiri bersama mereka yang tertindas, bahkan jika itu berarti menghadapi kekuatan raksasa yang jauh lebih besar.
Dalam perspektif HAM, Luffy dapat dibaca sebagai pembela hak sipil dan politik (civil and political rights)—kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, hingga kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. Namun, ia juga menunjukkan kepedulian pada hak ekonomi, sosial, dan budaya (economic, social, and cultural rights), terutama ketika ia memperjuangkan keadilan ekonomi, seperti saat membela masyarakat miskin di Wano yang dijajah oleh kekuatan kapitalistik Orochi dan Yonkou (kaisar lautan) Kaido.
Kru Topi Jerami bukan hanya simbol persahabatan, tapi juga contoh komunitas inklusif. Mereka datang dari berbagai latar belakang, ras, dan ideologi, namun tetap bersatu dalam satu kapal. Ini adalah refleksi dari keberagaman yang sehat, tempat setiap orang dihargai bukan karena posisi, tapi karena keberadaannya sebagai manusia. Ini sejajar dengan prinsip equal dignity and rights dalam Deklarasi Universal HAM.
Jurgen Habermas dalam teori ruang publiknya pernah mengatakan, bahwa kebebasan hanya mungkin terwujud ketika ada ruang dialog yang setara. Luffy, meskipun bukan filsuf, menciptakan ruang itu: ia mendengarkan, menghormati, bahkan memberi kesempatan kedua bagi musuhnya. Ia paham bahwa perubahan tidak selalu lahir dari peperangan, tapi dari kemampuan untuk memahami dan merangkul.
Akhirnya, One Piece bukan hanya tentang mencari harta karun. Ia adalah alegori besar tentang dunia yang tidak sempurna, namun bisa diperjuangkan. Luffy menjadi simbol bahwa kebebasan adalah sesuatu yang harus dituntut, bukan ditunggu. Ia mengajarkan kita bahwa hak asasi bukanlah pemberian dari penguasa, melainkan sesuatu yang melekat sejak kita lahir—dan tugas kita adalah menjaganya, memperjuangkannya, bahkan bila perlu, melawannya.
Seperti yang dikatakan Eiichiro Oda, “Orang yang paling bebas di laut adalah Raja Bajak Laut.” Maka dalam setiap kita, ada Luffy yang berani berdiri melawan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk siapa pun yang dirampas haknya untuk bermimpi, berserikat dan berusaha untuk bebas.
Mari bersuara dan katakan kepada dunia bahwa kita berhak kritis.
Kontributor: Moh. Rizki Nur Ripa'i
Editor: Irsyad Akil
0 Komentar