Inspiratif.online Kendal- Dulu ketika simbah (dari ibu) masih hidup, beginilah cara tradisi sungkeman kami (penulis beserta keluarga). Namun semenjak beliau tindak swargi prosesi ini menjadi jarang terlihat lagi. Mulanya sebagai pemikir penulis bertanya-bertanya, “mengapa harus menaruh hormat berlebihan kepada manusia?”, tetapi seiring berjalannya waktu penulis tersadar. Tanpa mengurangi esensi, sungkeman adalah wujud dari ekspresi cinta yang terlebur akulturasi budaya (identitas yang melekat dalam diri, dalam hal ini : suku). Kalau kata penulis, "salah satu ciri orang Jawa adalah mengekspresikan rasanya melalui simbol/bentuk, karena rasa yang tidak ditunjukkan tidak akan pernah mantep". Ibarat saat orang tua mencintai putra-putri kecilnya, anda akan membelikan mainan/boneka/perhiasan sebagai wujud cara membahagiakan (cinta) meskipun mereka tidak membutuhkannya. Begitulah analogi sederhana tentang ekspresi cinta yang terkandung dalam dari tradisi sungkeman (versi penulis).
Lebih lanjut mari kita selami makna dari istilah ‘Sungkeman’, istilah sungkeman merupakan tradisi dalam budaya Jawa yang dilakukan sebagai wujud dari bakti dan penghormatan kepada orang yang lebih tua di hari-hari besar seperti Idul Fitri dan penghantar prosesi pernikahan. Kata sungkeman sendiri berasal dari kata ‘Sungkem’ yang berarti sujud atau tanda bakti dan hormat. Dalam praktiknya seseorang yang melakukan sungkem akan bersimpuh sembari mencium tangan orang tua yang dihormati.
Berbicara tentang penghormatan kepada yang lebih tua dalam prosesi sungkeman tentu tidak bisa lepas dari sejarahnya. Dalam sejarah, tradisi ini pertama kali tercatat dan di lembagakan pada masa pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau biasa disingkat KGPAA Mangkunegara I. beliau adalah sesosok raja dan Pahlawan Nasional Repubik Indonesia dengan nama lahir Raden Mas Said atau lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. beliau bertahta di Mangkunegara (sebuah kadipaten pecahan Mataram Islam, kini wilayahnya meliputi Solo bagian utara, seluruh Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, serta sebagian wilayah Kecamatan Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta). Pada sejarahnya tradisi sungkeman digelar usai salat Idul Ftri dan diikuti oleh rakyat, pamong, serta keluarga raja.
Sungkeman pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara I erat kaitannya dengan ekspresi cinta dari rakyat untuk pemimpinnya. Begitu pula dengan dimensi lain dari sungkeman dalam prosesi pernikahan dan perayaan Idul Fitri di kalangan non keraton yang erat kaitannya dengan perwujudan bakti dari yang muda untuk sosok yang begitu dihormatinya. Lantas bagaimana dengan tradisi sungkeman dimasa kini ?. diakui atau tidak, tradisi ini lambat laun semakin ditinggalkan. Entah karena kerumitan struktur bahasanya yang menurut sebagian gen Z dan Alpha susah untuk ditiru atau karena paham sebagian agamawan baru yang merasa tidak elok melakukan penghormatan berebihan kepada sesama manusia.
Sentiment penghormatan berlebihan ini yang membawa penulis untuk menyebut sungkeman sebagai; Bid’ah Cinta. Sebuah istilah yang merujuk kepada ekspresi cinta murni yang melebur dengan budaya Jawa dan kebetulan tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Penulis hanya teringat insight dari dialog Cak Nun selama menulis artikel ini, kurang lebih begini insight yang penulis ingat : “syirik itu letaknya dihati, bukan diperbuatan”. Sebagai manusia yang ditakdirkan menjadi suku Jawa dan bangga akan tradisinya tentu penulis memiliki sudut pandang yang positif mengenai tradisi sungkeman. Namun perihal bagaimana pembaca akan memaknai tradisi sungkeman, penulis mengembalikan sepenuhnya penilaian ini kepada pembaca. Karena jika sebagian pembaca merasa tradisi ini tidak elok, penulis bisa apa?.
Kontributor: Danang Afi
Editor: Irsyad Akil
0 Komentar